PICTURE

PICTURE

Kepada Siapa Cinta Ini Akan Kulabuhkan?





Bicara tentang cinta seakan tak ada habisnya. Biasanya membahas topik yang satunya ini, para pemirsa, pendengar, penonton atau siapapun yang menjadi subjek seakan langsung melek dan fokus, ibarat gula yang menarik semut-semut berdatangan. Sebuah kenikmatan yang Allah berikan kepada manusia yang tak diberikan kepada makhluk ciptaan-Nya yang lain adalah adanya rasa ketertarikan terhadap sesuatu, maka sepantasnyalah nikmat ini kita syukuri dan jaga. Dalam sudut pandang Islam, bukan sebuah hal yang tabu untuk membahas masalah cinta, karena ia adalah nikmat dan anugerah maka tentu sebagai panduan kehidupan, Islam telah memberikan rambu-rambunya.



Cinta adalah sebuah emosi dari kasih sayang yang kuat dan ketertarikan pribadi. Pendapat lainnya, cinta adalah sebuah aksi/kegiatan aktif yang dilakukan manusia terhadap objek lain, berupa pengorbanan diri, empati, perhatian, kasih sayang, membantu, menuruti perkataan, mengikuti, patuh, dan mau melakukan apa pun yang diinginkan objek tersebut (id.wikipedia.org). Bertolak dari definisi itu, kita bisa melihat cukup luas dampak dengan adanya cinta, dimana pengorbanan, empati, perhatian, menuruti, mengikuti, patuh menjadi hal yang akan tersalurkan kepada sesuatu yang akan dicintai.

Sebagai seorang yang muslim, mungkin sudah tak asing lagi, bahwa Al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam menjadi rambu-rambu kehidupan kita. Agama bukan sekadar status tapi ia adalah hukum dan jalan hidup. Muslim bukan hanya klaim, tapi ia butuh pembuktian. Membuktikannya adalah dengan bersiap menjadikan undang-undangnya sebagai patron hidup.

Sebagai seorang muslim, cinta tertinggi hendaknya dilabuhkan kepada Allah. Inilah salah satu undang-undang Islam. Meski mata tak pernah melihat wujud-Nya, namun bukan berarti cinta mustahil diberikan kepada-Nya. Para nabi dan rasul saja tak pernah melihat Allah secara langsung, namun cinta mereka kepada Allah tak perlu dipertanyakan. Hidupnya secara utuh sudah mereka dedikasikan kepada Allah dengan penghambaan penuh dan memperjuangkan ajaran-Nya. Sudah cukup nikmat dan rahmat yang Allah berikan yang bisa membuat kita senantiasa tersungkur dengan pengabdian dan cinta kepada-Nya.

Tatkala banyak orang yang mengklaim mencintai Allah, mereka dituntut untuk mendatangkan bukti. Allah Ta’ala berfirman (yang artinya): ”Katakanlah: Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu. Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Ali Imron: 31).

Sejalan dengan definisi cinta di atas, mencintai Allah melahirkan konsekuensi harus mengikutinya. Mengikuti apa? Tentu saja mengikuti syariat-Nya yang mulia, entah syariat itu tergolong mudah untuk diterapkan dalam kehidupan kita ataukah sulit, sejalan dengan nalar kita atau tidak (meskipun tidak ada syariat Allah yang bertentangan dengan akal sehat) maka sudah menjadi keniscayaan untuk mengikuti segala ajaran Allah yang sempurna. Seyogyanya, kepatuhan dan ketaatan kita diberikan kepada Allah. Kepatuhan dengan sebenarnya kepatuhan, penuh pengorbanan agar Allah memberikan ridho-Nya kepada kita.

Kedua, Rasulullah Shallallahu ’alaihi wa sallam bersabda,“Salah seorang di antara kalian tidak akan beriman sampai aku lebih dia cintai daripada anaknya, orang tuanya bahkan seluruh manusia.” (HR. Bukhari dan Muslim).

Setelah Allah, objek cinta selanjutnya adalah Rasulullah Shallallahu ’alaihi wa sallam. Beliau adalah utusan Allah. Yang namanya utusan, pasti utusan yang paling kenal dengan yang mengutusnya. Ibarat seorang direktur mengutus karyawannya untuk sebuah urusan, maka tentu yang paling mengetahui kehendak yang mengutus adalah karyawan tersebut. Pun begitu dengan Allah kepada Rasulullah. Maka orang yang mencintai Allah tentu juga akan mencintai dan mengikuti Rasulullah Shallallahu ’alaihi wa sallam sebagai utusan Allah dan manusia yang paling kenal dengan Allah.

Anas bin Malik mengatakan bahwa cinta pada Nabi Shallallahu ’alaihi wa sallam bukanlah dengan melantunkan nasyid atau pun sya’ir yang indah, namun enggan mengikuti sunnah/jalan hidup beliau. Hakikat cinta pada Nabi Shallallahu ’alaihi wa sallam adalah dengan mengikuti (ittiba’) setiap ajarannya dan menaatinya. Semakin seseorang mencintai nabinya maka dia juga akan semakin menaatinya.

Selanjutnya kecintaan kita sebagai muslim hendaknya dilabuhkan kepada orang-orang yang mencintai Allah dan Rasul-Nya, yakni para sahabat Nabi, tabi’in, atba'ut tabi’in, para ulama dan kaum muslimin yang senantiasa berpegang teguh kepada agama Allah yang mulia ini.

Sekali lagi, inilah jalan hidup sebagai muslim yang tidak sekadar klaim belaka, inilah jalan cinta kita, gaya hidup kita. Di luar sana, begitu banyak gaya hidup. Sahabat SYIAR, pedoman baik tidaknya sesuatu untuk diikuti bukan dari seberapa banyak orang yang memilih jalan tersebut. Meski yang memilihnya sedikit bukan berarti itu salah, pun sebaliknya meski yang memilihnya banyak belum tentu benar. Gaya hidup yang dipilih oleh penduduk bumi mungkin beragam, dan diantara beragam itu ada yang menjadi pilihan mayoritas. Hendaknya kita menggunakan nikmat Allah berupa nalar untuk berpikir apakah dari sekian banyak gaya hidup itu sudah sejalan dengan rambu-rambu kehidupan kita yakni Islam?

Saudaraku seaqidah, jangan mudah membeo dengan budaya-budaya yang mengikis aqidah dan menjauhkan kita dari nilai-nilai Islam. Perayaan/seremonial yang menyangkut agama ini, jika tanpa teladan dari Rasul meskipun semua orang di dunia ini melakukannya kalau Islam tak pernah memerintahkan hendaknya kita tidak latah dengan perayaan itu. Cover yang menarik hati bukan berarti boleh kita ikuti jika tak ada perintahnya dalam Islam. Orang-orang Arab mengungkapkan fenomena ini dengan berkata, “Setiap yang terlarang itu menarik (memikat).” Setan yang menjadi musuh manusia sejak dulu senantiasa menghiasi larangan-larangan Allah menjadi memikat hati sehingga manusia yang tak punya benteng akan ajaran Islam menjadi latah dengan alasan itu sekadar ikut saja dan berbagai alasan lainnya.

Belum lagi jika seremonial itu dipenuhi dengan adegan-adegan yang mencabik-cabik syariat Allah, misalnya saja perzinaan, mengumbar aurat dan hawa nafsu, melabuhkan cinta kepada lawan jenis yang belum halal hendaknya kita dengan tegas mengatakan TIDAK padanya.


Mari, mengecap manisnya iman dengan menyelami sebuah hadist Rasulullah, “Tiga hal, bila ketiganya ada pada diri seseorang, niscaya ia merasakan betapa manisnya iman: Bila Allah dan Rasul-Nya lebih ia cintai dibanding selain dari keduanya, ia mencintai seseorang, tidaklah ia mencintainya kecuali karena Allah, dan ia benci untuk kembali kepada kekufuran setelah Allah menyelamatkan dirinya, bagaikan kebenciannya bila hendak diceburkan ke dalam kobaran api.” (Muttafaqun ‘alaih)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

TULIS KOMENTAR DAN PERTANYAAN ANDA DI SINI...